Sabtu, 22 Oktober 2011

Suku Dayak Ma’anyan

Maanyan adalah nama salah satu puak suku bangsa yang mendiami Pulau Kalimantan, yang sekarang bermukim di kawasan subur di antara sungai Barito dan Pegunungan Meratus, meliputi sebagian wilayah Utara Propinsi kalimantan Selatan dan daerah Timur Propinsi Kalimantan Tengah, tersebar di lebih dari 15 Kecamatan. Pada umumnya orang Maanyan bertubuh sedang, berkulit kecoklatan, rambut lurus berwarna hitam atau coklat kehitaman, dan beralis agak tebal. Sebagai suatu kelompok masyarakat, orang Maanyan memiliki beberapa ciri sosial budaya yang unik dan menarik.
Pertama, orang Maanyan memiliki bahasa daerah yang sangat dekat ke bahasa Kawi (Jawa Kuno). Dan Dalam bahasa maanyan ini, walaupun mereka kini bermukim jauh dari lautan, terdapat banyak kosa-kata tentang laut dan berhubungan dengan laut. Tokoh-tokoh mereka bergelar datu (sama dengan datuk dalam bahasa Melayu, yang artinya:bapak dari kakek), patis (bahasa Melayu patih), dan miharaja (sama dengan: maharaja). Mereka menyimpan benda-benda pusaka yang berusia ratusan tahun, berupa piring keramik ukuran besar yang bergambar, guci keramik dengan relief naga, tabak (nampan berbentuk bunga) dari kuningan, gong dan gelangdari gangsa, tombak dan keris, dan pakaian kebesaran mirip pakaian Jawa. Sedangkan dalam ritus kematian, mereka memiliki kesamaan dengan adat Bali, yaitu melakukan upacara pembakaran tulang-tulang orang mati untuk mengantarkan roh mereka ke tempat paling akhir, yang dalam bahasa maanyan disebut: Ijambe. (Ijambe berasal dari awalan I berkonotasi ’sibuk’ dan kata kerja jambe yang berarti ‘menangani’.
Kedua, mereka mempunyai kebiasaan menuturkan ’sejarah masa lalu dan adat-istiadat’ (bahasa Maanyan: taliwakas) mereka pada setiap upacara adat penting. Istiadat menceritakan kembali sejarah dan adat ini disebut orang Maanyan ngalakar, atau ngentang atau nutup entang, atau nutup tarung. Selain taliwakas, mereka juga mempunyai banyak cerita-cerita, berupa legenda, balada, dan lagu-lagu tentang kebesaran dan kemakmuran mereka di masa lalu, tentang tokoh-tokoh sejarah, disebuah ‘kerajaan’ (kecil) yang menurut mereka bernama Nansarunai.
DARI KAYU TANGI KE SIUNG UHANG
Menurut cerita-cerita itu, keberadaan mereka di Pulau kalimantan ini bermula ribuan tahun lalu pada saat serobongan manusia perahu yang sedang mencari permukiman baru jatuh cinta pada ketenangan teluk Banjar (menurut versi orang Maanyan: teluk Nansarunai). Konon ketika mereka tiba di situ, angin dari daratan bertiup sepoi-sepoi, membawa bau harum dari pohon-poho, daun, bunga, dan buah. lalu mereka memasuki muara sungai Barito (yang nama aslinya berasal dari bahasa Maanyan: Baritu, yang berarti sungai menyerupai laut) dan turun untuk memeriksa keadaan.
Pertama mereka naik ke tepian kiri, atau tepian barat dari sungai itu, dan dikatakan mereka mendapatkan tananh yang berasa pahit dan air berasa asam (payau). Tetapi ketika pindah ke tepian kanan, tepi timur sungai itu, mereka mendapati tanah yang harum dan air yang manis, pepohonan dan buah-buahan yang lebih subur, serta lebih banyak burung dan binatang hutan lainnya. Sehingga mereka memutuskan untuk tinggal dan menetap di tempat itu yang kemudian mereka memakan kayu tangi sesuai dengan nama pohon yang ada disitu. Sekarang, kampung yang bernama kayu tangi ini masih dapat ditemukan dekat Kotamadya Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan, yaitu kota dagang paling ramai di kalimantan sekarang.
Dari situ, mereka lalu berkembang menjadi suatu kelompok masyarakat yang lebih besar dan maju. secara perlahan mereka mendesak penduduk asli yang hidup nomadis, dan menguasai daratan dan lereng yang subur di sekitar Banjarmasin dan Martapura sekarang. mereka bertani, menanam padi, lada, dan kelapa, berburu binatang hutan, menangkap ikan di sungai dan burung di pepohonan, mengambil sarang lebah, mengumpulkan damar dan gaharu, mencari emas dan batu-batu berwarna. Komoditi yang mungkin sangat penting waktu itu adalah damar dan lilin dari sarang lebah (dalam bahasa Maanyan: pasisit) karena merupkan bahan bakar dan bahan dempul (sebelum ditemukan minyak dan dempul yang lebih modern).
Tidak mengherankan jika kemudian selain mereka yang pergi berdagang ke beberapa bandar di Jawa dan Sumatra, pedagang dari sana dan dari tempat lain juga datang ke kayu tangi untuk mencari sendiri barang-barang berharga itu dan sekaligus berdagang mata dagangan lain. Sehingga kemudian tumbuhlah kota dagang yang cukup ramai di sekitar kampung kayu tangi itu, yang diingat oleh orang Maanyan bernama: Nansarunai. Dari hubungan dagang itulah orang Maanyan memperoleh kekayaan yang berlimpah, kain sinnai (semacam ulos), piring keramik, dan guci dari Cina, manik-manik dan talam dari India alat-alat kesenian (gong dan gendang) dan persenjataan dari Kediri, dan berbagai kerajinan tangan serta buah-buahan dari Malaka.
Tentang kapan persiapan penduduk Nansarunai ini memasuki masa kejayaannya, dan untuk berapa lama, tidak didapati datanya. Tetapi jika dilihat dari benda-benda pusaka yang mereka miliki, yang menurut para ahli sudah diperdagangkan pada abad ke-7 dan ke-8, maka paling tidak pada abad-abad itu sudah ada pedagang asing masuk ke Nansarunai, atau pedagang nansarunai yang berdagang ke luar. sehingga sangat mungkin bahwa pada abad ke-9 dan ke-10 Nansarunai sudah memasuki masa kebesarannya, sudah menjadi suatu bandar (atau banjar0, yaitu pusat perdagangan, sudah ada konglomerat-konglomerat kecil, sudah dibangun rumah-rumah besar bermahligai (tingkap untuk memingit gadis-gadis) dan balai adat yang megah, dan sudah berkembang kesenian dan hiburan lainnya, misalnya: sabung ayam. Dan pasti juga sudah banyak pendatang lain, selain orang Maanyan, menetap di Nansarunai. Tentang ramainya kota Nansarunai pada zaman itu ada disebutkan dalam ‘tarung‘ (cerita indah0 orang Maanyan: mengatur rami kudalangun raya, kala harek jatuh minau nyawung, rakeh riwu turun sipat ngamar (artinya: setiap hari seperti ada pesta besar, bagaikan ribuan orang turun menyabung ayam). sedang dibalai adat dikatakan terdapat: amas bakuhiwik hena jauran wintan, bakukewek ialah rawen punsi sagat, amas bakukannyar hena ia tau nyarau (artinya: banyak sekali emas dan intan berlian).
Banyaknya harta kekayaan adat dan komoditi dagangan daerah Nansarunai ini tentu saja membuat pusat kekuatan lain disekitarnya ingin merampas harta kekayaan itu dan menguasai sumber mata dagangannya. Sriwijaya, yang menguasai Nusantara pada abad ke-6 dan abad ke-7, mungkin saja menguasai nansarunai, paling tidak secara ekonomi. Dan setelah naik hartanya seorang raja yang ambisius di Singosari pada sekitar tahun 1222, yaitu Kertanegara, kemungkinan besar Nansarunai telah pula maenjadi salah satu dari kerajaan kecil yang pertama sekali ditaklukkannya. Selain nansarunai cukup kaya tetapi tidak cukup kuat secara militer, jaraknya yang hanya sekitar empat hari perjalanan perahu layar dari Gresik membuatnya sangat mudah ditaklukan pada tahun 1280, dan Bali, yang diduduki pada tahun 1285. kemudian, setelah Raden Wijaya dan Gajah Mada berhasil membangun Majapahit, kemungkinan besar jajahan Singosari ini berpindah tangan ke Majapahit (dalam legenda mengenai serangan dari Jawa ini disebutkan adanya serangan yang terulang lagi). sehubungan dengan ‘tenggelamnya ‘nama Nansarunai dan ‘timbulnya’ nama Banjar, ada kemungkinan orang-orang Jawa itu telah memberi nama baru bagi Nansarunai menjadi Banjar sesuai kebiasaan mereka memberi nama baru bagi suatu wilayah jajahan baru. (Catatan: Nama banjar juga terdapat di utara Bali, dan kawasan tengah pulau Jawa; dan nama Banjar telah dicatat oleh pedagang Cina pada pertengahan abad ke-13).
Kalau dilihat dari kuatnya pengaruh Jawa pada kebudayaan Maanyan, seperti nama-nama hari, bulan, cara berhitung, pola penuturan, nama-nama gelar seperti raden dan tumenggung, persenjataan (keris dan tombak), pakaian kebesaran (gelang kebesaran di lengan atas dan di paha), nama-nama tempat yang didirikan setelah kejatuhan Nansarunai, sampai ke cerita Joko Tarub dan Nawangwulan, maka dapat dipastikan bahwa sisa-sisa orang Maanyan dari Nansarunai itu berada di bawah pengaruh budaya Jawa dalam waktu yang sangat lama, yang menurut beberapa pengamat berlangsung dari pertengahan abad ke-12 sampai abad ke-14, yaitu kurang lebih 250 tahun!
Namun diceritakan pula bahwa pada waktu kejatuhan Nansarunai banyak kelompok yang melarikan diri atau diungsikan, baik ke tempat yang sangat jauh, atau pun sedang jauhnya, dan juga ke tempat yang sangat dekat. Di antaranya, suatu kelompok putrapembesar Maanyan bersama para pengawal mereka beserta para ibu ahli adat, mencoba membangun permukiman baru di suatu tempat yang letaknya hanya dua atau tiga hari perjalanan, yang mereka beri nama Nansarunai Baru. Setelah kekuasaan Majapahit mulai mundur pada pertengahan abad ke-14, dibawah komando dua pejuang muda legendaris, yang bernama Idung dan Jarang, mereka berhasil bangkit dan melakukan serangan balasan (iwaleh-jakke) terhadap sisa-sisa laskar Majapahit yang sudah kehilangan komando, dan mereka menang! Sehingga terciptalah banyak lagu-lagu pujian terhadap kebesaran dan kegagahan Idung dan Jarang. Semua ibu mengidamkan punya anak seperti mereka, dan gadis-gadis Maanyan mendambakan lelaki seperti mereka, yaitu ganteng, pintar, dan gagah berani.
Tetapi sebelum mereka berhasil membentuk suatu pemerintahan yang kuat, sudah datang pedagang Melayu dari Malaka, bersatu dengan para pedagang bebas dari daerah Sriwijaya yang sudah lama bekerja sam dengan penguasa Majaphit di situ, untuk menguasai perdagangan. Salah satu peninggalan mereka yang cukup berkesan adalah buah nenas yang dahulu mereka bawa, yang oleh orang Maanyan disebut ‘buahdari malaka’, dan kemudian menjadi buah malaka atau buah nenas. Pada mulanya, para pedagang ini tampak tidak begitu pusing terhadap penguasa Maanyan pada waktu itu, terutama karena mereka mungkin tidak memungut pajak. Tidak meminta upeti atau biaya apapun dari para pedagang dan masyarakatnya (mengingat bahwa hal itu bertentangan dengan adat orang Maanyan). tetapi setelah Portugis menyerang dan menduduki Malakapada tahun 1511, banyak ulama, bangsawan, dan saudagar malaka kehilangan pijakan. nansarunai (yang sudah menjadi Banjar) yang sudah ditinggalkan oleh penguasa Majapahit, menjadi tempat pelarian yang ideal.
Maka dikisahkanlah, dalam legenda Maanyan, tentang seorang pedagang besar Melayu yang bermukim di Banjar (orang Maanyan tetap menyebutnya Nansarunai) yang oleh orang Maanyan diberi gelar Pa Dayar, karena dia sering berlayar, yang menjadi berang karena petinggi Maanyan yang berkuasa waktu itu terlibat percintaan dengan isterinya yang sangat cantik. Dan dengan dalil bahwa mereka telah berzina, dia menuntut agar mereka dihukum mati (menurut hukum Majapahit, yang pada waktu itu masih dianggap berlaku, orang itu pun dihukum mati. Dan dalam suasana kekosongan kekuasaan yang telah terjadi setelah itu, Tuan Pa Dayar akhirnya mendapat dorongan dari teman-temannya untuk mengambil laih kekuasaan.
Kemungkinan dari situlah bermulanya berdiri Kesultanan Banjar oleh para Bangsawang pedagang dari Sriwijaya dan Malaka, yang pada waktu itu sudah beragama Islamdan menjadi pendukung kuat penyebaran Islam. Maka tidaklah mengherankan bahwa bahasa Sriwijaya (gabungan antara Jawa dan Melayu) kemudian menjadi bahasa resmi di situ, yang sekarang dikenal sebagai bahasa Banjar.
Pada masa itu kembali orang Maanyan dihadapkan pada dua pilihan, takluk kepada penguasa baru dan menjadi Islam (kata orang Maanyan: jari hakei) atau tetap mempertahankan adat Maanyan. sehingga mereka terpecah, ada yang masuk Islam dan melepaskan adat Maanyan, terutama dari kalangan pedagang, para pekerja, dan orang kebanyakan. Dan ada pula yang memilih memegang teguh adat, yaitu dari kalangan pemuka adat, rohaniwan dan para pendekar perang bersama kaum keluarga mereka. Dan karena terdesak, akhirnya mereka mereka meninggalkan Nansarunai. Dalam kurun waktu yang sangat panjang (mungkin antara tahun 1550 sampai dengan tahun 1750) kelompok ini menjalani proses semakin terdesak ke pedalaman, menelusuri lereng pegunungan Meratus dan daerah aliran sungai Barito ke Timur Laut. Maka jika kita perhatikan nama-nama kampung sepanjang jalan dari Martapura sampai Tamiang Layang, seperti Binuang, Angkinang, Haruyan dan Taniran.
Selama proses yang panjang itu, banyak lagi orang Maanyan yang berubah pikiran dan menyatakan diri ‘bergabung’ dengan kelompok Islam dari Kesultanan Banjar. tetapi tetap ada yang setia dan bertahan pada adat Maanyan. Salah satu dari kelompok terakhir ini, di bawah pimpinan Urya Damung Napulangit dan beberapa orang adiknya, kemudian sampai dan menetap di Siung, di tepi sungai Siung, sebelah Barat Daya Tamiang Layang sekarang. Orang-orang asal Nansarunai yang tetap taat pada adat Maanyan dan belum mau menerima ‘agama baru’ itulah yang kemudian bertumbuh menjadi kelompok masyarakat yang sekarang disebut dan menyebut diri mereka: Maanyan.
RAMAI-RAMAI MENINGGALKAN SIUNG
Tetapi sangatlah keliru untuk menyimpulkan bahwa semua orang Maanyan yang ada sekarang adalah keturunan Urya Dammung Napulangit dan adik-adiknya. Sebab sebenarnya ada indikasi kuat bahwa jumlah orang Maanyan yang tergiring ke pedalaman itu cukup banyak dan terpencar ke beberapa penjuru. Hanya saja kelompok Urya Dammung Napulangit membawa beserta mereka perangkat adat yang lebih lengkap, baik perangkat kerasnya, yaitu benda-benda adat, maupun perangkat lunaknya, berupa tokoh-tokoh adat yang masih mengetahui secara rinci tatacara upacara adat, ayat-ayat yang harus diucapkan pada setiap upacara, dan hukum adat yang dulu diwariskan oleh nenek moyang Maanyan dari Nansarunai.
Karena itu, daerah Siung dan sekitarnya dengan cepat berkembang menjadi pusat adat Maanyan. Banyak upacara adata diselenggarakan di Siung, dan banyak orang datang untuk belajar dan berkonsultasi soal-soal adat. Namun suatu ketika terjadi malapetaka besar di Siung ini, yaitu hampir selusin orang mati pada hari yang samakarena dipagut ular kecil dari balik sampah tempurung kelapa. Maka tua-tua adat berpendapat bahwa mereka ‘diminta’ pindah dari desa itu. Lalu sebagian mendirikan desa Siung Baru, namun benda-benda adat dan tua-tua adat pindah ke Murutuwu dan Telang. Sehingga jadilah Telang dan sekitarnya sebagai pusat adat Maanyan sampai tahun 1960-an (sebelum orang Maanyanramai-ramai masuk Islam dan Kristen) Pada zaman Belanda, Telang pernah dijadikan Ibukota Wilayah Administratif Barito Timur.
Setelah penduduk Maanyan bertambah banyak lagi, dan tempat tinggal mereka semakin terpisah dari Telang, timbullah kesulitan baru dalam hal peribadatan, khususnya Ijambe yang merupakan upacara paling akbar dari orang Maanyan.
Pertama, letak Telang semakin jauh. Dan kedua, biaya penyelenggaraan upacara itu sangat tinggi bagi warga Maanyan yang hanya bertani, apalagi bagi yang bertempat tinggal jauh. Akibatnya, lalu timbul semacam perpecahan adat: Yaitu kelompok yang tinggal jauh dari Telang memberanikan diri mengadakan Ijambe terpisah dari Telang, yaitu di desa mereka sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya cara-cara yang mereka kembangkan itu menjadi agak berbeda dan semakin disederhanakan. Sementara tua-tua adat yang berkedudukan di Telang dan sekitarnya berkeras bahwa tatacara upacara adat itu harus tetap dipegang teguh, tidak boleh diubah sedikitpun, dan sedapat mungkin diadakan di daerah Telang yang sudah dijadikan pusat adat.
Dari perpecahan tersebut timbullah dalam masyarakat Maanyan apa yang sekarang disebut ‘paju epat’ yang tetap teguh mempertahankan kemurnian adat, atau kelompok konservatif, dan kelompok ‘kampung sepuluh’ dan ‘banua lima’ yang berani menyederhanakan adat, atau kelompok reformis.
USUS YANG BERSAMBUNGAN
Namun perpecahan adat tidak pernah sampa memecahbelahkan masyarakat Maanyan sebagai suatu keluargabesar. Masing-masing tetap mengaku Maanyan, tetap merasa bersaudara, dan tetap saling memperhatikan. Rasa persaudaran adalah sangat kuat di kalangan Maanyan, yang mungkin berakar dari rasa senasib sepenanggungan mereka selama dalam pengembaraan panjang dari Nansarunai ke siung dulunya. Dalam bahasa Maanyan, bersaudara disebut ‘ipulaksanai‘ (bersambungan usus), dan berhubungan keluarga berarti mempunyai hubungan darah (berasal dari nenek moyang yang sama) baik dari garis keturunan ayah maupun dari keturunan ibu. Artinya, orang Maanyan melihat setiap anak adalah ‘pecahan diri orang tuanya’, dan setiap warga adalah kepingan-kepingan dari satu ‘tubuh besar’ yaitu nenek moyang mereka. Dengan demikian sesama maanyan itu sesungguhnya adalah ‘kepingan lain’ dari dirinya sendiri, dan perlu dihargai seperti diri sendiri.
Karena itu, terhadap saudara dan kaum keluarga sendiri, orang Maanyan dididik sejak kecil untuk wajib saling menolong, saling peduli, setia dan jujur. gotong royong dan peduli kawan sudah diajarkan sejak dini. Dan karena setiap orang Maanyan itu kalau ditelusuri adalah berasal dari nenek moyang yang sama, maka sikap-sikap persaudaraan tadi diberlakukan dari sifat-sifat orang Maanyan yang jujur, terbuka, peduli terhadap sesama, dan suka bertolong-tolongan sampai sekarang.
BERSATU DI SURGA-BAKA
Begitu kuatnya ikatan persaudaraan di kalangan Maanyan, sampai-sampai kalau mereka sudah mati pun harus tetap, dan bahkan semakin dipersatukan. Salah satu alasan penolakan orang Maanyan terhadap agama asing dulunya adalah mereka takut roh mereka nantinya tidak akan bertemu dengan roh kaum keluarga dan nenek moyang mereka yang sudah lebih dahulu meninggal. Sebab, kalau sudah menganut agama baru, itu berarti upacara adat kematiannya berbeda, dan dengan demikian mengantar roh mereka masuk ke sorga yang berbeda pula, bukan ke sorga orang Maanyan dimana roh nenek moyang mereka telah lebih dahulu berada. Keterpisahan dari kaum keluarga di sorga -bak adalah suatu kengerian besar bagi orang Maanyan, apalagi jika dilakukan dengan sengaja, karena itu berarti ‘untuk selamanya terpisah’.
Dan ini pulalah alasannya mengapa ritus kematian menjadi sangat sentral dalam adat Maanyan. Sebb upacara adat kematian itu mempunyai makna sangat penting. Pertama, upacara itu dimaksudkan untuk menyelamatkan roh seseorang supaya dia sampai ke sorga-baka. dan kedua, jika dia telah sampai ke sorga-baka, maka itu berarti dia telah dipersatukan dengan kaum keluarga dan nenek moyangnya yang sudah dahulu meninggal, yang merupakan ‘kebahagiaan abadi’ di mata orang Maanyan.
Di sini kelihatan konsep orang Maanyan tentang hidup dan kematian. Hidup, bagi mereka, bukanlah suatu akhir, melainkan hanya ’suatu kepergian sementara untuk berusaha’ (bahasa Maanyan: santurui) mengumpulkan harta kekayaan yang akan menjadi milik abadinya di sorga-baka. karenaya, kebanyakan orang Maanyan itu rajin dan suka bekerja keras untuk mengumpulkan harta kekayaan bagi dia dan keluarganya, dan apabila dia meninggal maka semua harta miliknya yang penting-penting harus ikut dikuburkan.
Sedangkan kematian adalah keterpisahan antara roh dan tubuh. kematian adalah suatu kematian tubuh, dan rohorang mati adalah roh yang tidak mempunyai tubuh. Karena tidak lagi mempunyai tubuh, maka roh orang mati dianggap tidak bisa bekerja dan berusaha lagi, dan harus segera kembali ke ‘negeri’ asalnya dimana dia tidak perlu lagi bekerja dan berusaha. Namun setiap roh orang yang sudah mati tidak mengetahui ‘jalan’ menuju ke negeri asalnya tersebut, yaitu sorga-baka, dan tidak akan dapat pergi sendiri ke sana. hanya para rohaniwan (bahasa Maanyan: pisamme) yang mengetahui jalannya, karena mereka diajar dan ditahbiskan untuk tugas itu, dan dengan demikian ‘dimampukan’ untuk ‘berubah dan terjun terjun sementara’ ke wujud dan dunia roh untuk membantu menggiring roh-roh itu menjalani ‘jalan’ ke surga-baka dengan selamat. Untuk inilah upacara adat kematian Ijambe itu dilakukan, yaitu untuk mengantar para roh ke sorga-baka.
lalu makna yang lebih dalam lagi dari ikatan persaudaraan dalam masyarakat Maanyan, yaitu keluarga yang hidup diwajibkan menyelenggarakan Ijambe bagi keluarganya yang sudah mati agar mereka selamat sampai di sorga-baka dan dipersatukan dengan kaum keluarga yang sudah lebih dahulu berada disana. Sehingga di kalangan maanyan ada ungkapan yang cukup terkenal: yaitu orangtua berkewajiban mengurus dan membesarkan anak-anaknya, dan sebaliknya anak-anak berkewajiban menyelenggarakn Ijambe bagi orangtuanya. Dan bagi orang Maanyan, adalah suatu dosa besar apabila mereka tidak mengadakan ijambe bagi keluarga mereka yang sudah mati karena itu berarti membiarkan roh mereka tidak masuk sorga-baka, yaitu tidak selamat.
DI SINI TIDAK ADA NERAKA
Pandangan Maanyan tentang keselamatan ini memang sangat menarik, yaitu bahwa keselamatan seseorang tidak ada hubungannya dengan dosa-dosanya di dunia, tetapi semata-mata ditentukan oleh diadatkan atau tidak diadatkannya kematian. Apabila kematiaannya diadatkan dengan benar, maka roh seseorang sudah pasti masuk sorga-baka. Tetapi jka tidak diadatkan dengan benar, maka rohnya akan ‘tersesat disimpang jalan, tersangkut onak duri pepohonan, tersesat di padang gurun gersang, terikut ombak gansa lautan luas’. (terjemahan dari : tawang kannyu erang tumpa lalan, angkeng kedeng hang iwu jumpun haket, tawang ma ulung kakenreian, umbak basikunrung bakir). Dalam kata lain mereka akan menjadi roh gaib di dunia lain, yaitu hantu. Dan pada saatnya nanti akan membawa keburukan kepada keluarga yang masih hidup.
Tetapi itu bukanlah neraka orang Maanyan. Itu hanya berarti bahwa roh orang mati tersebut tetap berada di dunia fana ini, sama dengan orang-orang yang masih hidup, hanya berbeda wujud. Padahal kehidupan di dunia ini penuh dengan berbagai tantangan duniawi, dan seseorang harus bekerja keras dan berjuang melawan tantangan itu. Bagi orang yang masih hidup, dia masih mempunyai tubuh untuk melakukan segala daya-upaya dalam menghadapi tantangan itu. Tetapi bagi roh yang sudah tidak memiliki tubuh, dia aka terombang-ambing seperti disebutkan di atas.
Neraka dalam pengertian sebagai ‘tempat hukuman’ tidak ada dalam konsep Maanyan. Mereka tidak mengenal penghukuman sesudah mati. Apabila seseorang melakukan keslahan itu harus dia tebus secara adat selagi dia hidup, yaitu segera setelah kesalahan itu diketahui.Dan apabila suatu pelanggaran telah diselesaikan secara adat dengan baik, maka lunaslah pelanggaran itu.
HIDUP MENURUT ADAT
Untuk itu, maka dalam masyarakat Maanyan ada hukum adat yang khusus mengatur cara-cara penyelesaian berbagai pelanggaran adat yang terjadi dalam masyarakat. Umunya, pelanggaran-pelanggaran itu harus dilunasi dengan membayar denda, ditambah dengan kewajiban untuk mengadakan ‘selamatan’, pesta kecil dengan mengorbankan hewan piaraan (seperti ayam atau babi) yang darahnya diambil untuk menepungtawari pihak-pihak yang tersangkut, dan dengan demikian ‘memulihkan’ kerusakan-kerusakan yang telah terjadi akibat pelanggaran itu. Sebab, suatu pelanggaran adat adalah suatu ‘gangguan terhadap suatu keharmonisan dan hubungan baik’, baik antara sesama manusia maupun antara manusia dan lingkungannya. Gangguan itu, selain merusak kelancaran kegiatan hidup sehari-hari, juga dapat mengundang kemarahan dari para dewata yang dapat menurunkan malapetaka bagi warga masyarakat di tempat pelanggaran itu terjadi.
Beberapa perbuatan yang biasanya dianggap pelanggaran serius, antara lain : pembunuhan, pencurian, penghinaan terhadap orang tua dan tua-tua adat, perzinaan, dan perbuatan yang tidak wajar (seperti berhubungan seks dengan hewan). Terhadap orang-orang yang telah melanggar adat, masyarakat Maanyan biasanya sangat punitif, tidak mudah mengampuni. Walaupun kesalahan mereka secara adat telah dipulihkan, tetapi khalayak ramai akan menjadikannya bahan ejekan. Dalam perkumpulan mereka akan selalu disindir, dan sampai mati akan terus dijauhi. Sebab itu, orang Maanyan paling takut melanggar adat, dan menjauhi diri dari perbuatan dan sifat-sifat yang mengarah ke pelanggaran adat.
BANYAK CARA UNTUK KAWIN
Namun demikian, rasa takut pada adat sering dikalahkan oleh gelora cinta. nampaknya ada suatu kecenderungan dalam masyarakat Maanyan, bahwa pelanggaran adat yang agak menonjol adalah di dunia cinta-mencinta. Idapa adalah bahasa maanyan yang berarti ‘bermain asmara dengan orang yang bukan pasangannya’, dan merupakan kasus yang hampir sering terjadi dalam masyarakat Maanyan. Dibanyak kampung biasanya ada saja lelaki yang cintanya overdosis, yang dalam bahasa Maanyan disebut pamawei, dan suka menggoda lawan jenisnya. Anehnya, sebutan pamawei itu kadang-kadang mempunyai konotasi yang tidak negati dalam masyarakat, bahkan ada yang merasa bangga karenanya.
Sejarah masa lalu bangsa Maanyan juga banyak dibumbui oleh cerita roman percintaan. konon dunia ini dulunya hanya kecil saja, dan baru menjadi besar setelah ada dua muda-mudi sedang mabuk cinta berkejar-kejaran. ke mana saja mereka berlari kesitu duni melebar. Dan yang agak gawat adalah cerita-cerita sebelum tidur bagi anak-anak Maanyan, ternyata banyak yang sudah bermuatan percintaan kelas berat. ini telah membuat banyak remaja Maanyan, terutama yang pria, sedikit ‘nakal’ terlalu dini. Dilain pihak, ternyata hukuman terhadap pelanggaran adat di bidang percintaan rata-rata tidak berat. Seperti ada semacam toleransi terhadap kelemahan manusia dalam mengontrol gejolak cintanya. sehingga tidak mengherankan jika hukum adat Maanyan memberi kelonggaran dalam hal perkawainan dan perceraian. Cara-cara menikah dipermudah, poligami dibolehkan, dan perceraian diizinkan. Orang yang tidak sabar untuk mengikuti proses perkawinan yang memang agak panjang, dapat mengambil jalan pintas dengan cara ijari (kawin lari), dan menyatakan diri ingin dikawinkan dengan seseorang (menyerahkan diri diri ke rumah seseorang yang dicintai). Tetapi suatu perkawinan yang baik, yang terhomat, yang agung, adalah perkawinan antara seorang bujang dan dara yang disalurkan melalui orangtua atau wali masing-masing. Prosesnya selalu dimulai dengan meminang, mengantar mempelai laik-laki, dan dilanjutkan dengan upacara pernikahan yang tentu saja memerlukan banyak biaya.
SAMA RASA ITU PERLU
Kendati begitu, kasus perceraian ternayata kurang menonjol. Kalau pun terjadi sautu perceraian, alasannya sangat jarang karena pihak ketiga. Alasannya perceraian yang paling sering adalah ketidakcocokan pribadi, misalnya sama-sama keras kepala. Dan yang sedikit menarik adalah adanya budaya ‘membuang’ pasangan yang tidak disukai oleh keluarga, misalnya karena pasangannya pemalas atau penjudi.
Rendahnya angka perceraian ini mungkin dapat dihubungkan dengan konsep orang Maanyan tentang pernikahan, yang dilihat sebagai pemeteraian suatu ikatan persaudaraan baru. Apabila dua orang sudah dinikahkan secara adat, maka mereka bukan saja hanya diteguhkan menjadi suami-isteri, tetapi juga telah menjadi ’saudara’. Begitu juga keluarga masing-masing mempelai ikut terikat dalam suatu ikatan persaudaraan oleh pernikahan itu, sehingga ikatan perkawinan itu menjadi sangat kuat dan tidak mudah dilepaskan.
Dari sisi lain, para orangtua yang mengatur perjodohan anak-anak mereka mempunyai kiat-kiat khusus untuk menghindari perpecahan di belakang hari. Slah satunya adalah dengan mengikuti nasihat Nini Punnyut (seorang rabiah Maanyan) yang terkenal bijaksana dalam mengatur perkawinan, yaitu menjodohkan orang yang ’sama rasa’. Dalam taliwakas dikatakan bagaimana Nini Punnyut mengatur perkawinan yang pertama-tama bagi sebelas pria dan duabelas wanita. Konon diadakanlah satu jamuan makan, dengan menghidangkan daging musang yang sangat enak. Setelah selesai makan, Nini Punnyut lalu mulai menanyai setiap yang hadir, yaitu menanyakan bagaimana menurut di rasa masakan yang baru dimakannya. Apabila ada seorang bujang memberi jawab sama dengan seorang dara, maka mereka dijodohkan. Dan akhirnya ke semua yang hadir itu mendapatkan jodohnya masing-masing, di mana di antaranya ada dua wanita sama rasa dengan seorang pria sehingga mereka dimadu.
DIIKAT OLEH DARAH
Selain karena perkawinan, suatu ikatan persaudaraan baru dapat juga terjadi karena pengangkatan, misalnya mengangkat anak atau maengangkat saudara (saling berjanji menjadi saudara). Walaupun secara statistik angak pengangkatan anak dan pengangkatan saudara di kalangan Maanyan renda, tetapi praktiknya ada dan di dalam adat disamakan dengan istiadat pernikahan, yaitu harus melalui peneguhan adat.
Bahwa pengangkatan anak dan pengangkatan saudara sampai timbul dalam hukum adat Maanyan tidak lain karena mereka melihat ikatan persaudaraan itu sangat penting untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. dengan dimungkinkannya seseorang diangkat saudara dan diangkat anak maka orang yang tadinya hanya mempunyai ikatan kekeluargaan jauh, atau bahkan orang yang belum mempunyai hubungan keluarga (orang asing) dapat masuk ke lingkungan Maanyan tanpa merusak keharmonisan.
Untuk meneguhkan suatu ikatan persaudaraan biasanya diperlukan darah (darah ayam atau babi). Pihak-pihak yang diteguhkan harus ditepungtawari dengan darah itu. Ini karena orang Maanyan memandang suatu ikatan persaudaraan yang ideal adalah hubungan karena sedarah. Dengan memercikkan darah yang sama ke tubuh orang yang diteguhkan itu menimbulkan bahwa setelah itu mereka menjadi sedarah.
KASTA PUN DITIADAKAN
Sebagai konsekuensi logis dari kehidupan bermasyarakat yang dilandaskan pada sila kekeluargaan, adalah hilangnya unsur-unsur kelas dalam masyarakat Maanyan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka, khususnya sejak mereka menetap di Barito Timur, tidak terlihat adanya tanda-tanda yang kuat bahwa anggota masyarakatnya terbagi dalam kelas-kelas. Yang selalu menonjol adalah suasana keakraban. Orang kaya akrab dengan orang miskin, Pangkalima akrab dengan muridnya, dan seorang paman atanu tante akrab dengan keponakannya. Bahkan anak-anak pun tidak terlihat terlalu dididik untuk sangat hormat pada orangtua. Bagi orang-orang yang bersaudara kandung, panggilan kakak atau adik untuk membedakan senioritas umur, yang begitu populer di Jawa, di kalangan Maanyan kurang mendapat tempat. padahal, dalam bahasa maanyan asli didapati beberapa kosa-kata yang menunjukkan adanya kelas-kelas sosial di masa lalu. Terutama dalam hal penyimpanan abu jenazah sesudah dilakukan Ijambe, sampai tahun 1940-an masih dibicarakan oleh para ahli adat perihal tempat abu bagi orang dari kelas bangsawan dan rohaniwan. Kini semuanya itu tinggal kenangan. Satu-satunya sistem senioritas yang masih bertahan adalah sistem garis keturunan. Bapak-bapak yang sudah mempunyai keturunan diberi gelar ammah atau inneh (untuk wanita); yang sudah mempunyai cucu diberi gelar kakah atau nini (bagi wanita); dan bagi yang sudah mempunyai cicit bergelar datu dan dara (bagi wanita).
peran wanita dan pria dalam masyarakat Maanyan adalah setara. Dalam kegiatan sehari-hari, di rumah dan di pesta-pesta adat, mereka mempunyai peran yang seimbang. Dalam upacara peneguhan perkawinan, umpamanya, jumlah tua-tua pria dan wanita yang akan menepungtawari pengantin harus berimbang. Dan yang sangat nyata sekali adalah dalam hukum adat mengenai warisan, anak pria dan anak wanita mempunyai hak sama.
dan khusus mengenai hukum warisan in, ada satu hal yang sangat menarik dalam hubungannya dengan perkawinan. Yaiut bahwa dalam istiadat perkawinan orang Maanyan ada semacam pengaturan status setelah menikah. seseorang yang mengikuti pasangannya (naharak) akan kehilangan haknya sebagi pewaris. Tetapi seseorang yang diikuti pasangannya, entah pria atau wanita, akan diberi hak penuh.
BERSAHABAT DENGAN ROH HALUS
Selain mengatur cara penyelamatan roh orang mati (adat kematian), memulihkan keharmonisan (adat penghukuman0, dan meneguhkan ikatan baru (adat peneguhan, adat Maanyan juga mengandung banyak norma pergaulan dengan alam lingkungan. Pelanggaran terhadap norma-norma ini biasanya tidak membawa konsekuensi adat tetapi akan berakibat buruk kepada si pelanggar berupa sakit-penyakit, kecelakaan, atau bahkan kematian.
Sebab setiap objek dalam lingkungan mempunyai rohnya masing-masing, yang apabila terganggu dapat melakukan pembalasan. Maka untuk menghindari permusuhan daengan alam lingkungannya, mereka memilih untuk memperlakukannya secara sopan. Untuk itu, dan sesuai dengan pengalaman, mereka telah menetapkan cara-cara tertentu, baik berupa etiket, maupun upacara, yang perlu dilakukan dalam bergaul dengan roh-roh duniawi tersebut. Misalnya, kalaumau makan di hutan, atau di luar rumah, maka sebelumnya mereka wajib membagikan sebagian dari makanan itu kepada roh-roh yang tidak kelihatan yang ada disekitar situ, dengan cara menaburkannya ke beberapa penjuru sambil berkata sipapulun (kubagikan bagi kalian). dan setelah panen, orang Maanyan wajib ‘memberi makan’ alat-alat pertanian mereka, terutama yang terbuat dari besi, agar benda-benda itu tidak marah dan menyebabkan mereka terluka di kemudian hari. Bukan hanya itu, orang Maanyan juga mengakui keberadaan berbagai makhluk gaib di dalam dunia ini. Diantaranya, ada yang mereka sebut nanyu yaitu dewa langit yang berkuasa menimbulkan guntur dan kilat, hujan dan angin ribut. Nanyu dipercayai sebagai penjaga keharmonisan. Apabila manusia melakukan pelanggaran, lupa kepada adat dan ajaran nenek moyang, nanyu ini akan beraksi dan menimbulkan hujan badai yang dalam bahasa Maanyan disebut : rume lulun. Ada lagi yang disebut jin dan kariau yang wujudnya tidak begitu jauh berbeda dari manusia, tetapi hidup secara gaib, dan memiliki suatu keunggulan tertentu dibandingkan dengan manusia biasa. Bagi orang Maanyan makhluk ini dapat dijadikan mitra gaib dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, atau rahasia keunggulannya dapat dipelajari untuk menambah kekuatan diri seseorang. Kemudian, ada yang disebut hantu (bahasa Maanyan: alah), ada monster bawah tanah yang mereka sebut jiwata, dan makhluk “jejadian’ yang mereka sebut bajat.
Terhadap kesemua kekuatan di atas, orang Maanyan tidak menyembah satupun, merek hanya mengikuti eksistensinya, dan karena itu bersedia mengadakan kerja sama saling menguntungkan. Bahkan bagi mereka kekuatan-kekuatan itu sebagian dapat dihindari, dicegah, dinetralisir, dan sebagian lagi dapat diajak bekerja sama, dilawan, atau malah dapat dikalahkan. Artinya, mereka tidak menganggap ada kekuatan yang lebih tinggi daripada Manusia, melainkan setara. Sikap ini dapat dilihat dalam kalakar di mana disebutkan bahwa kekuatan-kekuatan itu bermula dari sesama manusia yang dulunya memilih cara hidup yang ‘lain’. Jadi ada semcam paham equalitas antara manusia dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada dalam alam lingkungannya. Orang kebanyakan sekali pun, jika mau belajar dan menambah kekuatan dirinya, bisa juga menjadi ‘gaib’ dan akan ditakuti oleh makhluk-makhluk itu.
Inilah sebabnya, dalam proses pendewasaan diri, orang Maanyan berusaha mengisi dirinya dengan berbagai kekuatan baru. Ada yang bertapa (bahasa Maanyan : nyama), ada yang mengikat persahabatan denagn jin, dan ada yang memakan atau menyimpan berbagai macam minyak dan ramuan.
Namun demikian, adalah sangat menarik bahwa di kalangan orang Maanyan sama sekali tidak didapati adanya orang yang bersahabat dengan roh gaib dengan maksud jahat, seperti untuk mencuri (setan gundul).
KERAS NAMUN ROMANTIS
Untuk memenuhi hajat hidupnya, orang Maanyan terpaksa harus bekerja keras. Pandangan mereka bahawa setiap warga masyarakat adalah anggota keluarga, dan hukum adat yang melarang segala bentuk pencurian, tidak memberikan tempat bagi orang Maanyan untuk berlaku curang atau berlaku jahat terhadap sesama.
Hidup bagi orang Maanyan adalah suatu kedatangan di dunia untuk berusaha, yang harus ditempuh dengan perjuangan dan kerja keras. karen itu konsep kedewasan mereka juga sangat dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk berusaha mencukupkan keperluan hidupnya, dengan daya guna yang dapat diberikannya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Karena itu, ibu-ibu dalam mendidik anaknya sangat sering menggunakan kata-kata ‘berguna’ dan ‘tidak berguna’ Maksudnya adalah mengajar anak-anak untuk rajin dan suka bekerja keras untuk menghasilkan susuatu, agar mereka itu dinilai berguna oleh orang lain.
Orang Maanyan sangat mengagungkan kerja keras. Orang-orang yang ladangnya luas dan padinya banyak akan selalu dijadikan contoh. Sebaliknya orang yang miskin karena malas akan dijadikan ejekan. Pemberani, gagah perkasa, dan suka bekerja keras, itulah figur ideal putra Maanyan. Sehingga tidak mengherankan jika orang-orang Manyan bertumbuh menjadi para pekerja “super keras”, bahkan cenderaung gila kerja. sampai pada tahun 1960-an, misalnya, adalah tidak aneh melihat orang Maanyan selesai bekerja jam dua pagi, tidur dua jam, dan mulai bekerja lagi jam empat pagi.
Namun dibalik sifat yang suka bekerja keras itu tersembunyi bakat-bakat seni. apabila ada pesta adat, ladang-ladang akan ditinggalkan sebentar pada anak-anak, dan kebun dibiarkan kosong. Selain untuk membantu bekerja, mereka mengahdiri upacara adat untuk berhibur diri dan menyalurkan denyut-denyut seni dalam darah mereka. Dan bagi para bujang dan dara, upacara adat adalah kesempatan untuk berliarik-lirik ria, terutama pada waktu ikansang, yaitu mengantarkan makanan secara bersambungan ke depan para tamu undangan.
Sudah menjadi kebiasaan bagi orang maanyan untuk menutup setiap kegiatan adat (bahasa Maanyan : gawe) dengan semacam ’suasana gembira’. Pada acara aini tuan rumah akan mengeluarkan buli-buli tuaknya. sambil minum tuak, para tua-tua akan mengadakan ‘dialog’ dengan bahasa indah hanya untuk memilih siapa di antara mereka yang pantas untuk nutup tarung dan menutup acara itu. Inilah saat paling berkesan bagi para tua-tua dan hadirin, dimana mereka akan mendengar dan bahkan ikut terlibat dalam ‘dialog’ dengan kata-kata indah. Momen-momen penting akan selalu menjadi kenangan, dan ucapan-ucapan bernilai seni tinggi akan selalu dikutip di kemudian hari.
Dialog dengan kata-kata indah ini lebih berdimensi lagi bagi para bujang dan dara. Sebab bagi mereka bahasa indah itu dipakai bukan untuk urusan adat, tetapi untuk berbicara tentang degub-degub cinta di dada. Pada acara adat para bujang dan dara itu bersua, dan pada malam-malam bulan purnama sesudahnya mereka akan berjumpa, dan berkata-kata dalam bahasa itu, untuk mencaritahu kalau-kalau antara mereka berdua ada ‘kesamaan rasa’. Atau, jika malam tidak berbulan mereka akan berkirim salam melalui alunan suara seruling atau gambang. Maka jika seseorag duduk-duduk membakar jagung di malam yang kelam di kawasan perladangan orang maanyan akan terdengar alunan-alunan sendu itu, yang selalu berarti sedang ada hati berjuang melawan sepi. Disebabkan oleh adanya semacam kewajiban tidak resmi bagi seseorang untuk dapat berdialog dalam bahasa indah itu, membuat setiap oarang Maanyan giat mempelajarinya. Itu membuat menajdi kreatif, dan mempunyai daya khayal yang tinggi, sehingga banyak orang Maanyan memiliki bakat sastra yang baik. Mereka juga menyukai kesenian, tidak malu-malu untuk tampil, dan pandai berkata-kata. orang-orang yang mempunyai bakat seni tinggi, pandai bermain musik dan pandai berkata-kata, akan sangat dihormati di kalangan masyarakat Maanyan.
Terlepas dari unsur budaya dan hiburannya, ada sisi lain yang cukup menarik dari acara-acara itu, yaitu selalu tersamar dalam setiap pembicaraan adanya ’suatu kerinduan’ untuk mendapatkan kembali kebesaran masa lampau 9ketika mereka masih berada di Nansarunai). “Di manakah ada ahli mantra, penyair ulung yang agung, yang dapat menghidupkan tupai mati, membangunkan bangkai musang?” Kata lagu-lagu mereka. “Barangkali dia mampu mendirikan Sarunai Baru, membangun balai adat anyar”. Dan akan disahut oleh lagulain lagi : “Percuma dikenang masa lalu, tak guna diingat yang lalu-lau, karena Sarunai Permai sudah dihancurkan, bumi makmur telah dibumihanguskan”. Jika kalimat-kalimat ini mempunyai suatu arti, maka artinya hanya satu : yaitu orang-orang Maanyan ini boleh jadi bukan berasal dari liang batu bumi kalimanta, tetapi warga terhormat dari suatu kerajaan besar yang telah hilang.
MENJALA KALONG DI UDARA
Sebagai petani pekerja keras, orang Maanyan biasanya memiliki ladang-ladang yang luas. padang ilalang yang dulu membentang dari Martapura sampai di Tamiang Layang mungkin merupakan jejak-jejak perladangan mereka. Baru setelah pohon pararaba (karet) diperkenalkan oleh Belanda pada pertengahan abad ke-18, orang Maanyan tidak meninggalkan bekas ladangnya menjadi padang ilalang tetapi menanaminya dengan karet. Itu sebabnya dari Tamiang Layang ke Buntok, tidak lagi banyak padang ilalang tetapi banyak pohon karet. dan sekarang daerah itu merupakan penghasil karet rakyat yang cukup lumayan.
Dalam berburu, orang Maanyan menunjukkan cara-cara yang lebih unggul. Mereka tidak hanya berburu pada siang hari, tetapi juga malam hari, tidak hanya di darat, tetapi juga di sungai dan danau. Bahkan untuk menangkap burung dan kalong , serta mengambil sarang lebah, mereka memanjat pohon-pohon besar dan tinggi. Berbagai macam perangkap mereka ciptakan. Manyuar (berburu pakai lampu), Neen (menangkap burung dengan lidi bergetah), dan maluh (menjaring kalong di udara) barangkali hanya terkenal di kalangan Maanyan.
RUMAH KECIL DI TEPI LADANG
Apabila di suatu daerah pertanian telah jenuh, ditanami karet atau buah-buahan, orang Maanyan akan berpindah secara kelompok ke beberapa daerah baru untuk membangun ‘kawasan perladangan bersama. yang mereka sebut bantai. Di bantai inilah sebenarnya kebanyakan orang Maanyan menghabiskan waktu mereka, suami-isteri hidup bersama anak-anak, di sebuah rumah kecil di tepi ladang. suatu bantai yang tanahnya kurang subur mugkin hanya berumur satu dua tahun lalu ditinggalkan. Tetapi bantai yang tanahnya subur bisa ditempati lebih dari lima tahun dan kalau pun ditinggalkan untuk beberapa lama akan didatangi lagi. bahkan bantai-bantai yang subur ini jika letaknya cukup strategis, seperti di tepi sungai yang dapat dilayari perahu atau di pinggir jalan raya, dapat berubah status menjadi sebuah tumpuk. Yaitu kampung tempat menetap . Rumah di ladang , atau di bantai, bagi orang Maanyan adalah tempat tinggal sementara. rumah sesungguhnya, atau rumah ke mana mereka bisa pulang dan merasa ‘di rumah’ adalah rumah-rumah besar tumpuk, di mana harta pusaka disimpan dan seluruh saudara-saudara sedarah dapat berkumpul bersama. dalam hal ini, bagi orang Maanyan tumpuk adalah tempat bersenang-senang, sedangkan ladang (bahasa Maanyan : umetaun) adalah tempat bekerja, tempat santurui. Tumpuk adalah pusat kegitan adat, tempat adat dilaksanakan, tempat menyimpan benda-benda adat, dan tempat menetap, tempat kembali pulang setelah pergi santurui ke tempat lain.
BARU DIGANTI SETELAH MATI
Dengan demikian, unit paling kecil dari suatu masyarakat Maanyan adalah keluarga kecil (ayah, ibu, dan anak-anak yang tinggal di bantai). Unit berikutnya adalah keluarga besar yang menempati rumah besar di kampung, yang sesungguhnya adalah keluarga kecil yang sudah membesar karena ‘anak-anak’ sudah menikah. Karena keluarga besar ini terdiri dari beberapa keluarga kecil, maka diperlukan seorang koordinator. Kalau si ayah masih hidup tugas itu adalah tugas dia. Tetapi apabila si ayah sudah meninggal, peran itu dipikul oleh wali-asbah, yaitu salah seorang dari anaknya yang ditunjuk oleh si ayah untuk menggantikannya.
Sedangkan struktur pemukiman orang Maanyan terdiri dari beberapa bantai mengelilingi sebuah tumpuk kecil, dan beberap tumpuk kecil mengitari sebuah tumpuk besar (tumpuk hante). Tumpuk-tumpuk besar adalah tumpuk yang sudah dijadikan pusat adat, seperti Telang dahulu, atau tumpuk yang sudah menjadi pusat perdagangan, seperti Tamiang Layang, Ampah, dan Buntok sekarang. Adapun pola pemerintahan yang dianut oleh orang Maanyan adalah sistem ‘kekuasaan adat’ sesuai dengan pembawaan mereka sebagai ‘manusia adat’. Di bawah kekuasaan adat, petinggi orang Maanyan adalh seorang Dammung, yaitu seorang pemimpin spritual, panglima perang merangkap tokoh adat. Di bawah Dammung ini adalah para panglima (bahasa Maanyan : pangkalima), yaitu pendekar perang, dan beberapa tua-tua adat, yang masing-masing menjadi pengayom suatu kawasan permukiman. Tugas-tugas mereka adalah mengkoordinasikan kegiatan upacara adat dan keamanan, dan hubungan antara mereka hanya bersifat konsultatif.
Dalam sistem kekuasaan adat ini, kawasan-kawasan pemukiman, selain diikat oleh hubungan kekeluargaan, dipersatukan oleh adat. Artinya, yang menetukan tumpuk mana berhubungan dengan tumpuk mana, dan tumpuk mana yang dianggap pusat, semata-mata ditentukan oleh adat. Terlepas dari urusan adat dan kekeluargaan, setiap tumpuk adalah mandiri, terutama secara ekonomi dan pemerintahan. Sebab itu, setiap tumpuk biasanya memiliki perangkat pemerintahan dan adatnya sendiri. Sebagai jurubicara (pemimpin) tumpuk adalah seorang pamakai, (yang artinya: dia yang memulai), yaitu seorang tokoh senior yang dianggap sebagai pendiri, atau turunan dari pendiri tumpuk tersebut yang ditunjuk oleh tua-tua tumpuk (semacam dewan tumpuk. Dan terakhir, setiap tumpuk biasanya juga memiliki pangkalimanya sendiri. Namun berbeda dari jabatan pamakal dan tua-tua adat, jabatan pangkalima tidak dipilih dan tidak diangkat, tetapi melekat dengan sendirinya pada diri seseorang yang paling berpengalaman berperang dan memiliki banyak ‘ilmu’ di kampung itu.
Mengingat bahwa suasana kehidupan mereka di permukiman baru di wilayah Barito Timur itu dulunya hampir selalu dalam keadaan bahaya, karen perang antar suku dan agresi untuk memperebutkan lahan subur atau penyebaran agama, maka tokoh-tokoh yang paling berperan dalam kehidupan masyarakat Maanyan adalah para ‘pangkalima’ ini. Tua-tua adat dan para pamakal kebanyakan hanya memegang peran admnistratif, Tiap-tiap tumpuk biasanya berada di bawah perlindungan satu atau dua orang pangkalima, dan di wilayah-wilayah tertentu berkuasa seseorang pangkalima besar,yaitu seorang pangkalima senior yang dianggap ‘guru’ oleh beberapa pangkalima yunior. Begitu terhormatnya ‘para pangkalima’ ini, sehingga setiap anak lelaki Maanyan bercita-cita kelak dia akan menjadi seorang pangkalimabesar juga. Sebab itu , pada masa mudanya, cukup banyak pemuda Maanyan yang pergi dari rumah ayahnya untuk berguru, mengabdi kepada seorang pangkalima atau kepada ‘orang tua berilmu’.
Apabila seseorang telah menduduki suatu jabatan, maka dia akan menduduki jabatan itu sampai dia meninggal. Tidak pernah orang Maanyan mencopot sesorang dari jabatannya sewaktu dia masih hidup. Ini bukan karena orang Maanyan tidak berani melakukannya, tetapi karena dalam proses pemilihan mereka telah sangat berhati-hati, sehinga yang terpilih benar-benar orang yang dapat diandalkan. Dan seandainya pun mereka salah pilih, orang Maanyan mempunyai kepercayaan bahwa pemimpin yang tidak baik akan cepat berlalu. Ada suatu kuasa lain, yaitu kuasa nanyu sanyang, yang akan mengontrol setiap pemimpin, menghukumnya kalau dia curang atau tidak adil dan melindunginya kalau dia baik.
jabatan-jabatan tinggi dalam masyarakat Maanyan tidak ada yang diperuntukan turun-temurun, namun terbuka kepada siapa saja yang dapat membuktikan dirinya layak menjadi pemimpin. Hanya saja, kadang-kadang wibawa ayah menurun ke anak, dan dia bisa saja terpilih untuk menggantikan ayahnya.
Pada zaman pemerintahan Belanda, mereka menerjemahkan dengan benar pola-pola kepemimpinan Maanyan dan perangkatnya, yang lalu mereka kukuhkan untuk menopang kepentingan mereka. Hanya saja orang Belanda sangat kesulitan mengucapkan kata dammung sehingga terucap demmang. Sejak pemerintahan Belanda, dan juga pada awal-awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, untuk mengatur kehidupan adat orang Maanyan, dan bahkan di wilayah di luar kawasan Maanyan, telah diangkat apa yang sekarang dikenal sebagai Demang Kepala Adat.
ORANG MAANYAN SEKARANG
Sekarang ini jumlah orang Maanyan yang masih mengaku Maanyan mungkin berkisar sekitar 250.000 juwa, tersebar di seluruh Indonesia, tetapi terutama di Kalimantan Tengah. Setelah Indonesia merdeka, dan orang Maanyan turut bergabung di dalamnya, wilayah permukiman orang Maanyan menjadi terbuka lebar kepada para pendatang, masyarakat non-Maanyan. Mereka pun berbaur dengan para pendatang itu sehingga perubahan-perubahan pada sifat-sifat dan tingkah laku mereka pun tidak terelakkan. Banyak yang sudah masuk Islam, ada yang masuk Kristen atau Katolik, dan ada yang pergi merantau dan kawin dengan orang non-Maanyan. Ternyata orang Maanyan cocok dan dapat bergaul dengan mudah dengan hampir semua macam corak budaya di Indonesia.
Namun demikian, ciri-ciri budaya Maanyan masih ada yang bertahan dan dapat dilihat sampai sekarang, seperti persaudaraan antara sesama Maanyan. Sifat-sifat senang menolong orang lain, jujur, dan rajin bekerja pun masih sering kelihatan. Tetapi satu hal yang nampaknya memang telah tenggelam, yaitu keinginan mereka untuk membangun nansarunai baru! Sebab ’suasana’ Nansarunai baru itu telah mereka dapatkan pada ‘alam’ kemerdekaan Indonesia.
selesai

0 komentar:

Posting Komentar